A.
Latar
Belakang
Setiap
tahunnya lebih dari 36 juta orang meninggal karena Penyakit Tidak Menular (PTM) (63% dari seluruh kematian). Lebih
dari 9 juta kematian yang disebabkan oleh penyakit tidak menular terjadi
sebelum usia 60 tahun, dan 90% dari kematian “dini”
tersebut terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Secara global PTM penyebab kematian
nomor satu setiap tahunnya adalah penyakit kardiovaskuler. Penyakit kardiovaskuler
adalah penyakit yang disebabkan gangguan fungsi jantung dan pembuluh darah,
seperti :Penyakit Jantung Koroner, Penyakit Gagal jantung atau Payah Jantung,
Hipertensi dan Stroke. Pada tahun 2008 diperkirakan sebanyak 17,3 juta kematian
disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler atau Jantung (Pusat Data dan Informasi
Kementrian Kesehatan RI,2013).
Jantung merupakan struktur kompleks yang
terdiri atas jaringan fibrosa, otot-otot jantung dan jaringan konduksi listrik.
Jantung mempunyai fungsi utama untuk memompakan darah. Hal ini dapat dilakukan
dengan baik bila kemampuan otot jantung untuk memompakan cukup baik, sistem
katup, serta irama pemompaan yang baik. Bila ditemukan ketidaknormalan pada
salah satu di atas, maka akan memengaruhi efisiensi pemompaan dan kemungkinan
dapat menyebabkan kegagalan memompa (Muttaqin, 2012).
Kegagalan jantung bekerja sebagai pompa
akan menyebabkan proses aliran darah tidak lancar. Kegagalan kerja pompa
jantung terlihat dengan jelas
pada
penyakit gagal jantung kongestif /
Congestive Heart
Failure (CHF) (Ronny,2009).
Gagal jantung kongestif adalah
ketidakmampuan jantung untuk memompa darah dalam jumlah yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan jaringan terhadap oksigen dan nutrient dikarenakan adanya
kelainan fungsi jantung yang berakibat jantung gagal memompa darah untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan atau kemampuannya hanya ada kalau
disertai peninggian tekanan pengisian ventrikel kiri (Smeltzer & Bare,2001).
Gagal jantung kongestif adalah kondisi progresif
kronis di mana jantung tidak dapat memompa cukup darah untuk memenuhi kebutuhan
tubuh. Ini salah satu penyakit jantung yang paling umum terjadi di Amerika
Serikat (AHA,2015).
Di Amerika Serikat
kejadian tahunan Gagal jantung
meningkat dari 250.000 kasus pada tahun 1970 menjadi 825.000 kasus pada
tahun 2010, memberikan kontribusi untuk prevalensi 5,1 juta orang yang berusia >
20 tahun. Risiko
untuk mendapatkan gagal jantung
terjadi pada usia sekitar 40 tahun
dan lebih banyak terjadi pada pria dari pada wanita dengan perbandingan 1 : 5 (Jaski,
2015).
Sekarang lebih dari 870.000 kasus baru
dilaporkan setiap tahunnya. Sekitar setengah dari semua orang meninggal dalam
waktu lima tahun setelah didiagnosis. Jumlah orang yang didiagnosis dengan gagal
jantung diperkirakan meningkat dari sekitar 6 juta menjadi hampir 8 juta pada
2030 (AHA,2015).
Jumlah penderita Gagal
jantung terus meningkat,
terutama sebagai penyakit penuaan.
Prevalensi juga bervariasi oleh ras dan etnis. Setelah
usia 20, prevalensi
gagal jantung sekitar dua kali lipat dalam setiap dekade kehidupan. Pada tahun 2010, diperkirakan 5,1 juta orang Amerika
yang berusia ≥ 20 tahun mengidap gagal jantung. Berdasarkan
komunitas cross sectional studi, 10%
orang yang berusia lebih dari 80 tahun memiliki gagal
jantung. Pada mereka dengan gagal
jantung, 88% terjadi pada usia lebih
dari 65 tahun, dan 49% dari mereka adalah yang lebih tua dari 80 tahun. Selain itu prevalensi
gagal jantung juga dipengaruhi oleh
perbedaan etnis atau warna kulit. Kulit hitam yang paling terpengaruh dan memiliki kenaikan diperkirakan
selama 20 tahun ke depan, dari 2,8% menjadi 3,6%. Peningkatan prevalensi etnis
tertentu dikaitkan dengan insiden yang lebih tinggi
terhadap terjadinya hipertensi, obesitas,
dan diabetes (Jaski, 2015).
Di Amerika Serikat
pada 2010, gagal jantung
meyumbangkan 57.757
angka kematian dari 279.098 kasus, gagal jantung adalah
penyebab utama dari kematian (Jaski,
2015).
Gagal jantung mencapai titik kritis
karena peningkatan jumlah yang sangat signifikan. Penyebab paling umum dari
terjadinya gagal jantung selama ini adalah penyakit jantung koroner, tekanan
darah tinggi dan diabetes (AHA, 2015).
Di Indonesia belum ada data epidemiologi
untuk gagal jantung, Namun penyakit jantung dan pembuluh darah ini terus
meningkat dan akan memberikan beban kesakitan, kecacatan dan beban sosial
ekonomi bagi keluarga penderita, masyarakat, dan negara. Adapun prevalensi
penyakit gagal jantung di Indonesia tahun 2013 berdasarkan diagnosis dokter
sebesar 0.13% ( Kementrian Kesehatan RI, 2014).
Berdasarkan data yang diperoleh dari RSU Santo Vincentius tercatat sebanyak 230 kasus Gagal
Jantung Kongestif di rawat di RSU Santo Vincentius selama
tahun 2015, dan data terakhir dari jumlah
kasus pada tahun 2016 ditemukan 241 kasus, 2017 ditemukan 253 yang di rawat inap di RSU Santo Vincentius. Jumlah kasus Gagal Jantung Kongestif ini menunjukkan
angka yang tinggi setiap tahunnya. Setelah itu
angka penderita gagal jantung pada tahun 2015 cenderung menurun namun masih
tergolong dalam 3 besar penyakit yang di rawat inap di RSU Santo Vincentius. (Rekam medik RSU Santo
Vincentius, 2017).
Berbagai upaya telah dilakukan
pemerintah untuk menurunkan angka kematian dan kesakitan akibat gagal jantung,
termasuk meningkatkan asuhan keperawatan pada pasien dengan gagal jantung
kongestif ini. Asuhan
keperawatan akan dilakukan melalui pendekatan dari proses keperawatan yang
terdiri dari pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi dan
evaluasi. Adapun tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien
dengan gagal jantung dimulai dari pengkajian yang
merupakan langkah awal dalam asuhan keperawatan yaitu pengumpulan data yang
dapat dilakukan dengan cara wawancara, observasi, pemeriksaan fisik, dan
pengambilan data laboratorium.
Menurut Padila (2012) keluhan yang
paling sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan adalah :
dispnea, kelemahan fisik, dan edema sistemik. Setelah
dilakukan pengkajian, maka dilakukan analisis terhadap data yang dikumpulkan
selama pengkajian untuk menegakan diagnosa keperawatan. Kemudian
dari hasil analisa tersebut seorang perawat akan menarik diagnosa. Adapun
diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan gagal jantung adalah nyeri dada akut berhubungan dengan
kurangnya suplai darah ke miokardium, gangguan pertukaran gas berhubungan
dengan edema pada paru (perubahan membran kapiler-alveolar), intoleransi
aktivitas berhubungan dengan kelelahan atau dispnea akibat turunnya curah
jantung, ketidak efektifan
pola nafas berhubungan dengan keletihan otot-otot
pernapasan, disfungsi neuromuskular, sindrom hipoventilasi, ketidakefektifan
bersihan jalan napas, ansietas berhubungan dengan kesulitan bernapas dan
kegelisahan akibat oksigenasi yang tidak adekuat, risiko penurunan perfusi
jaringan jantung, kelebihan volume cairan, kerusakan integritas kulit,
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dan defisit perawatan
diri (Hardhi, Amin. 2013 NANDA).
Manusia
bersifat unik maka respon yang muncul pada pasien gagal jantung juga akan
berbeda-beda pula. Tidak menutup kemungkinan setiap pasien akan memiliki
diagnosa keperawatan yang berbeda tergantung dengan hasil pengkajian yang telah
dilakukan. Setelah itu, perawat akan merencanakan tindakan yang akan dilakukan
oleh perawat, mulai dari tindakan mandiri perawat hingga tindakan kolaborasi
perawat dengan tenaga medis lainnya. Perbedaan diagnosa keperawatan pada setiap
pasien menyebabkan pemberian tindakan
keperawatan antara satu pasien dengan yang lain pun berbeda tergantung pada
kondisi pasien dan hasil dari pengkajian yang telah dilakukan.
Rencana
tindakan keperawatan dibuat untuk mengatasi masalah dan meningkatkan kesehatan
pasien. Rencana keperawatan dilakukan berdasarkan masalah yang kita dapatkan
pada tahap pengkajian dan diagnosa. Misalnya, pada masalah nyeri dada akut
berhubungan dengan kurangnya suplai darah ke miokardium, intervensi yang dibuat
berupa lakukan pengkajian nyeri yang komprehensif meliputi lokasi,
karakteristik, awitan dan durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau
keparahan nyeri dan faktor presipitasinya, observasi isyarat nonverbal
ketidaknyamanan, khususnya pada mereka yang tidak mampu berkomunikasi efektif,
minta klien untuk melaporkan nyeri (skala 0-10) atau ketidaknyamanan dengan
segera, bantu klien untuk mengatur posisi fisiologis, istirahatkan klien,
lakukan masase punggung dan relaksasi, berikan informasi tentang nyeri, seperti
penyebab nyeri, berapa lama akan berlangsung dan antisipasi ketidaknyamanan
akibat prosedur, ajarkan teknik relaksasi pernapasan dalam, ajarkan teknik
distraksi (pengalihan perhatian )
pada saat nyeri, kendalikan
faktor lingkungan yang dapat memengaruhi respon pasien terhadap ketidaknyamanan
(misalnya suhu ruangan, penncahayaan, kegaduhan dan jumlah pengunjung),
kolaborasi mengenai pemberian antiagina pada klien, serta berkolaborasi
mengenai pemberian analgesik dengan dokter (Hardhi,
Amin. 2013 NANDA).
Setelah membuat perencanaan, maka
selanjutnya implementasi. Implementasi adalah tindakan dari perencanaan yang
telah dibuat. Dan selanjutnya adalah mengevaluasi kemajuan pasien terhadap
tindakan dan pencapaian tujuan dari tindakan keperawatan. Evaluasi merupakan
tahap akhir dari proses keperawatan untuk mengukur tingkat keberhasilan asuhan
keperawatan yang telah diberikan. Dalam melakukan evaluasi dapat menggunakan
metode SOAP (subjektif, objektif, analisis, planning) sehingga dapat diketahui
masalah yang teratasi dan masalah yang belum teratasi serta yang terjadi dan
belum terjadi. Pendekatan
proses keperawatan yang ada pada pasien gagal jantung kongestif
diharapkan dapat memberikan asuhan keperawatan yang
tepat dan benar bagi penderitanya sehingga dapat mengurangi angka kesakitan,
kecacatan serta kematian akibat gagal jantung kongestif.
Alasan peneliti memilih studi kasus
asuhan keperawatan pada pasien dengan gagal jantung kongestif adalah karena
banyaknya angka penderita gagal jantung kogestif baik di dunia, Indonesia,
kemudian di RSU Santo
Vincentius itu sendiri. Pada tahun 2015 penderita gagl jantung kongestif menjadi
kasus paling banyak di RSU Santo Vincentius tetapi, Pada
tahun 2016, angka penderita gagal
jantung kongestif mengalami kenaikan pada jumlah tetapi pada tahun 2017
mendapat urutan ke-2 setelah penyakit Dyspepsia.
Berdasarkan uraian data di atas penulis merasa
tertarik untuk melakukan studi kasus asuhan keperawatan pada pasien dengan
gagal jantung kongestif di Ruang Penyakit Dalam St Lukas di
RSU Santo Vincentius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar