A. LATAR BELAKANG
Kesehatan jiwa
dan gangguan jiwa sering kali sulit didefinisikan, orang dianggap sehat jika
mereka sanggup memainkan peran dalam masyarakat dan perilaku mereka pantas dan
adaktif. Sebaliknya, seseorang dianggap sakit jika gagal memainkan peran dan
memiliki tanggung jawab atau perilaku tidak pantas (Videbeck, 2008).
Karakteristik
sehat jiwa terdiri dari persepsi yang sesuai dengan realitas, mampu menerima diri sendiri dan orang secara
alami, mampu fokus dalam memecahkan masalah, menunjukan kemampuannya secara
spontan, mempunyai otonomi, mandiri, puas dengan hubungan interpersonal, kaya
pengalaman yang bermanfaat, menganggap hidup ini sebagai sesuatu yang indah
(Ngadiran, 2010).
Meskipun
penderita gangguan jiwa belum bisa disembuhkan 100%, tetapi para penderita
gangguan jiwa memiliki hak untuk sembuh dan diperlakukan secara manusiawi. UU
RI No. 18 tahun 2014 Bab I pasal 3 tentang kesehatan jiwa telah dijelaskan
bahwa upaya kesehatan jiwa bertujuan menjamin setiap orang dapat mencapai
kualitas hidup yang baik, menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari
ketakutan, tekanan dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa (Kemenkes, 2014).
Gangguan jiwa
merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya kekacauan pikiran,
persepsi dan tingkah laku dimana individu tidak mampu menyesuaikan diri dengan
diri sendiri, orang lain, masyarakat, dan lingkungan. Pengertian seseorang
tentang penyakit gangguan jiwa berasal dari apa yang diyakini sebagai faktor
penyebabnya yang berhubungan dengan biopisikosial. Persepsi masyarakat bahwa
penderita gangguan jiwa adalah sesuatu yang mengancam juga harus diluruskan.
Selama ini keluarga masih beranggapan bahwa penanganan penderita gangguan jiwa
adalah tanggung jawab pihak rumah sakit jiwa saja, padahal faktor yang memegang
peranan penting dalam hal perawatan penderita adalah keluarga serta masyarakat
di sekitar penderita gangguan jiwa tersebut (Kusumawati, 2009).
Salah satu bentuk gangguan jiwa yang umum terjadi adalah
skizoprenia. Sedangkan halusinasi merupakan gejala yang paling sering muncul
pada pasien skizoprenia, dimana sekitar 70% dari penderita skizoprenia
mengalami halusinasi (Mansjoer, 1999:196). Salah satu gejala psikosis yang
dialami penderita gangguan jiwa adalah halusinasi yang merupakan gangguan
persepsi dimana klien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi
(Maramis, 2005).
Halusinasi adalah
hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan internal dan rangsangan
eksternal. Klien memberi 5 pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau
rangsangan yang nyata, misalnya klien mengatakan mendengar suara padahal tidak
ada orang yang berbicara (Kusumawati, 2010).
Menurut data WHO
pada tahun 2012 angka penderita gangguan jiwa mengkhawatirkan secara global,
sekitar 450 juta orang yang menderita gangguan mental. Orang yang mengalami
gangguan jiwa sepertiganya tinggal di negara berkembang, sebanyak 8 dari 10
penderita gangguan mental itu tidak mendapatkan perawatan (WHO, 2012).
Penderita
gangguan jiwa mengalami peningkatan yang signifikan setiap tahun di berbagai
belahan dunia. Berdasarkan data dari World
Health Organization (WHO) dalam Yosep (2013), sekitar 450 juta orang di dunia
mengalami gangguan jiwa yang terdiri dari 150 juta mengalami depresi, 90 juta
gangguan zat dan alkohol, 38 juta epilepsy,
25 juta skizofrenia serta 1 juta
melakukan bunuh diri setiap tahun. Berarti setidaknya terdapat satu dari empat
orang mengalami masalah mental dan gangguan kesehatan jiwa, sehingga menjadi
masalah yang serius diseluruh dunia.
Menurut
kementrian kesehatan Republik Indonesia KEMENKES RI (2012). Gangguan jiwa saat
ini telah menjadi masalah kesehatan global bagi setiap Negara tidak hanya di
Indonesia saja. Gangguan jiwa yang dimaksud tidak hanya gangguan jiwa psikotik/
skizofrenia saja tetapi kecemasan,
depresi dan penggunaan Narkoba Psikotropika dan Zat adiktif lainnya (NAPZA)
juga menjadi masalah gangguan jiwa.
Indonesia
mengalami peningkatan jumlah penderita gangguan jiwa cukup banyak diperkirakan
prevalensi gangguan jiwa berat dengan psikosis/ skizofrenia di Indonesia pada tahun 2013 adalah 1. 728 orang.
Adapun proposi rumah tangga yang pernah memasung anggota rumah tangga, gangguan
jiwa berat sebesar 1.655 rumah tangga dari 14, 3% terbanyak tinggal di
pedasaan, sedangkan yang tinggal diperkotaan sebanyak 10,7%. Selain itu
prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk umur lebih dari 15 tahun di
Indonesia secara nasional adalah 6.0% (37. 728 orang dari subjek yang
dianalisis). Provinsi dengan prevalensi gangguan mental emosional tertinggi
adalah Sulawesi Tengah (11, 6%), Sedangkan yang terendah dilampung (1,2 %)
(Riset Kesehatan Dasar, 2013).
Di Kalimantan Barat data gangguan jiwa dengan
harga diri rendah mencapai 554 orang (5,84%), isolasi sosial 329 orang (3,
47%), halusinasi 5934 orang (62,56%), waham 866 orang (9,13%), perilaku
kekerasan 680 orang (7,17%), resiko bunuh diri 21 orang (0,22%), defisit
perawatan diri 1101 orang (11,61%).
(Rekam Medik Rumah Sakit
Jiwa Provinsi Kaimantan Barat, tahun 2015).
Dampak yang dapat ditimbulkan oleh pasien yang mengalami
halusinasi adalah kehilangan kontrol dirinya. Dimana pasien mengalami panik dan
perilakunya dikendalikan oleh halusinasinya. Dalam situasi ini pasien dapat
melakukan bunuh diri (suicide),
membunuh orang lain (kill other),
bahkan merusak lingkungan. Untuk memperkecil dampak yang ditimbulkan,
dibutuhkan penanganan halusinasi yang tepat (Hawari 2009, dikutip dari Chaery
2009).
Berdasarkan uraian diatas bahwa
angka kejadian halusinasi yang sering terjadi pada masalah kesehatan jiwa di
Indonesia sangat tinggi, sehingga diperlukan “Asuhan
Keperawatan yang Komprensif Pada Pasien
Pendengaran”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan di atas, maka rumusan masalah
penelitian adalah “Bagaimanakah Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Halusinasi di Rumah Sakit Jiwa
Provinsi Kaliamantan Barat Tahun 2017?”
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan ini adalah :
1.
Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran asuhan
keperawatan pada pasien dengan halusinasi pendengaran dan penglihatan di Rumah Sakit jiwa Provinsi Kaliamantan Barat Tahun 2017.
2.
Tujuan Khusus
a.
Mengetahui pengkajian keperawatan pada pasien dengan
halusinasi pendengaran dan
penglihatan di Rumah Sakit jiwa Provinisi Kaliamantan Barat Tahun 2017.
b.
Mengetahui diagnosa keperawatan yang sering muncul pada
pasien halusinasi pendengaran dan
penglihatan di Rumah Sakit jiwa Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2017.
c.
Mengetahui intervensi keperawatan yang efektif untuk
pasien dengan halusinasi pendengaran dan pendengaran di Rumah
Sakit jiwa Provinsi
Kalimantan Barat Tahun 2017.
d.
Mengetahui
implementasi asuhan keperawatan pada
pasien dengan halusinasi pendengaran dan penglihatan di Rumah
Sakit jiwa Provinsi
Kalimantan Barat Tahun 2017.
e.
Mengetahui hasil evaluasi asuhan keperawatan pada
pasien dengan halusinasi pendengaran dan penglihatan di Rumah Sakit jiwa Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2017.
D. Manfaat
1.
Bagi Rumah
Sakit jiwa Daerah singkawang
Makalah ini dapat dijadikan
masukan dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan mengenai Asuhan Keperawatan
Pada Pasien Dengan Halusiansi Di Rumah
Sakit Jiwa Provinsi
Kalimantan Barat.
2. Bagi
institusi pendidikan
Makalah ini dapat dijadikan bahan
referensi dan menambah masukan untuk pengembangan penelitian dan bagaimana
Asuhan Keperawatan pada pasien dengan halusinasi.
3. Bagi
penulis
Selain menambah wawasan, peneliti
juga dapat mengembangkan dan menerapkan Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan halusinasi
pendengaran dan penglihatan.
E.
Sistematika Penulisan
Dari makalah yang kami
buat, kami menggunakan sistematika yang terdiri dari tiga bab yaitu
pendahuluan, konsep dasar, laporan kasus, pembahasan dan penutup.
1. Bab I pendahuluan yang terdiri
dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat dan
sistematika penulisan.
2. Bab II tinjauan pustaka yang
terdiri dari konsep dasar halusinasi dan konsep dasar asuhan keperawatan.
3. Bab III laporan kasus.
4. Bab IV pembahasan.
5. Bab V penutup yang terdiri
dari kesimpulan dan saran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar