BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam Undang-Undang
No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia disebutkan, bahwa Lanjut Usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun (enam
puluh) tahun keatas. Dalam undang-undang tersebut juga
dikatakan bahwa lanjut usia terbagi jadi dua kategori yaitu Lanjut Usia Potensial dan Lanjut
Usia Tidak Potensial
Gangguan Neurologi
merupakan suatu kemunduran Biologis yang terjadi secara umum dalam proses
menua. Gangguan semacam ini tidak dapat pungkiri karena semakin bertambahnya
usia maka akan terjadi penurunan pada kemamuan fisik maupun secara kognitif.
Gangguan neurologi menempati angka kematian tertinggi terutama pada Lansia.
Misalnya stroke di Amerika Serikat menempati tempat ke tiga sebagai penyebab
kematian setelah penyakit jantung koroner dan penyakit kanker tercatat setiap
tahun tercapai 500.000 Stroke baru dan 200.000 dari pada yang meninggal dunia.
Stroke merupakan
penyakit yang dapat menyerang siapapun secara mendadak sehingga dapat
mengakibatkan kehilangan kemampuan. Secara umum stroke akan meningkatkan
berbagai macam gangguan fungsi organ-organ tubuh baik langsung maupun tidak
langsung.
Parkinson merupakan
gangguan neurologi progresif yang mengenai pusat otak yang bertanggung jawab
untuk mengontrol dan mengatur gerakan, selain penyakit stroke penyakit
parkinson juga terjadi di seluruh dunia pada semua ras dan kelompok etnis. Dari
populasi yang diteliti mengindikasikan insiden sekitar 130/100.000 standar
populasi. Gangguan ini sangat jarang pada individu usia dibawah 40 tahun dan
usia rata-rata adalah 60 tahun. Prevalensi dari penyakit Parkinson meningkat
sesuai dengan usia dan statistic membuktikan bahwa penyakit ini mengarah
penyebab penyakit neurologispada individu yang berusia lebih dari 60 tahun.
Sekitar 10% – 15% dari penyakit Parkinson berkembang menjadi amnesia.
Pencegahan dan
gangguan neurology ini merupakan salah satu tujuan dari Program Kesehatan.
Pengenalan faktor resiko serta tindakan untuk menghilangkan atau menurunkan
berbagai akibat yang ditimbulkannya merupakan upaya untuk menurunkan tingkat
kesakitan dan kematian akibat gangguan neurology.
Peran perawat secara
umum untuk melakukan tindakan keperawatan professional harus melakukan proses
Asuhan Keperawatan yang meliputi pengkajian yang terjadi dari
anamnese-observasi, pemeriksaan fisik status neurology dari data penunjang
untuk menentukan rencana tindakan yang akan diberikan kepada klien.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan lansia?
2. Bagaimana pemeriksaan neurologis pada lansia?
3. Bagaimana perubahan neurologis pada lansia?
4. Apa dampak perubahan neurologis pada lansia?
5. Apa masalah-masalah gangguan neurologis pada lansia?
6. Bagimana asuhan keperawatan pada lansia dengan
gangguan neurologis?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Tujuan
Umum
Memperoleh gambaran pelaksanaan tentang Asuhan Keperawatan dengan klien gangguan
neurologi
2. Tujuan
Khusus
a.
Mampu melakukan
pengkajian pada klien dengan gangguan neurology.
b.
Mampu menentukan
masalah keperawatan pada klien dengan gangguan neurologi.
c.
Mampu merencanakan
tindakan keperawatan pada klien dengan gangguan neurologi.
d.
Mampu melaksanakan
tindakan keperawatan pada klien dengan gangguan neurologi.
e.
Mampu mengevaluasi
tindakan keperawatan pada klien dengan gangguan neurologi.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. KONSEP
LANSIA
Dalam
Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia disebutkan,
bahwa Lanjut Usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun (enam
puluh) tahun keatas. Dalam undang-undang tersebut juga
dikatakan bahwa lanjut usia terbagi jadi dua kategori yaitu Lanjut Usia Potensial dan Lanjut
Usia Tidak Potensial.
Lanjut Usia Potensial adalah lanjut usia yang masih mampu
melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang
dan/atau jasa. Sedangkan Lanjut Usia Tidak Potensial adalah lanjut usia yang tidak berdaya
mencari nafkah sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.
Adanya
lanjut usia tidak potensial bisa sebabkan karena lansia tersebut mengidap suatu
penyakit yang dapat menghambat aktifitas sehari-harinya. Salah satu penyakit
yang kerap menghinggapi lansia adalah gangguan sistem persyarafan.
B. ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM SYARAF
Sistem persarafan terdiri dari otak medula spinalis dan saraf perifer
struktur-struktur ini bertanggung jawab untuk control dan koordinasi aktivitasi sel tubuh
melalui inpuls-inpuls elektrik.
1. OTAK
Otak dibagi menjadi tiga bagian besar : serebrum, batang otak dan
serebelum. Semua berada dalam satu bagian struktur tulang yang disebut
tengkorak, yang juga melindungi otak dari cedera. Otak manusia mencapai 2% dari
keseluruhan berat tubuh, mengkonsumsi 25% oksigen, dan menerima 1,5% curah
jantung. Empat tulang yang berhubungan membentuk tulang tengkorak : tulang
frontal, parietal, temporal dan oksipital. Pada dasar tengkorak terdiri dari 3
bagian fossa-fossa. Bagian fossa anterior berisi lobus frontal serebral bagian
hemisfer. Bagian tengah fossa berisi lobus parietal, temporal dan oksipital dan
bagian fossa posterior berisi batang otak dan medulla.
2. MENINGEN
Meningen atau lapisan pelindung otak terdiri dari plameter, lapisan
arahmoid dan dura meter.
a. Pia Meter adalah lapisan terdalam yang halus dan tipis, serta melekat erat
pada otak lapisan ini mengandung banyak pembuluh darah untuk mensuplai jaringan
otak.
b. Lapisan araknoid (tengah) terletak dibagian eksternal pia meter dan
mengandung sedikit pembuluh darah.
1) Ruang subaraktoid memisahkan laposan araknoid dari piameter dan mengandung
cairan serebrospinal. Pembuluh darah, serta jaringan penghubung seperti selaput
yang mempertahankan posisi araknoid, serta jaringan penghubung seperti selaput
yang mempertahankan posisi araknoid terhadap piamater di bawahnya.
2) Berkas kecil jaringan araknoid, viliaraknoid, menonjol ke dalam sinus vena
(dural) durameter.
c. Duramater
lapisan terluar, adalah lapisan yang tebal dan terdiri dari dua lapisan
1) Lapisan periosteal luas pada dura mater melekat di permukaan dalam kranium
dan berperan sebagai periosteum dalam pada tulang tengkorak.
2) Lapisan meningeal dalam pada dura mater tertanam sampai ke dalam fisura
otak dan terlipat kembali ke arahnya untuk membentuk bagian falks serebrum,
falks serebrum, tentorium serebrum dan sela diafragma.
3) Ruang
subdural memisahkan dura mater dari araknoid pada regia krarial dan medula
spinalis.
4) Ruangepidural
adalah ruang potensial antara periorteal luar dan lapisan meningeal dalam pada
dura mater di regia medula spinalis.
3. SEREBRUM
Serebrum
terdiri dari 2 hemisfer dan 4 lobus subtansia grisea terdapat pada bagian luar
dinding serebrum dan substansia alba menutupi dinding serebrum bagian dalam.Sebagian besar hemisfer serebri berisi jaringan sistem saraf pusat (SSP)
Keempat Lobus serebrum adalah :
a. Frontal – Lobus terbesar : terletak pada fossa anterior. Area ini
mengontrol perilaku individu, membuat keputusan, kepribadian dan menahan diri.
b. Parietal – Lobus sensori. Area ini menginterprestasikan sensasi. Sensasi
rasa yang tidak berpengaruh adalah bau. Lobus parietal mengatur individu mampu
mengetahui posisi dan letak bagian tubuhnya.
c. Temporal – Berfungsi menginterprestasikan sensasi kecap, bau dan pendengaran,
ingatan jangka pendek sangat berhubungan dengan daerah ini.
d. Oksipital – Terletak pada lobus posterior hemisfer serebri. Bagian ini bertanggung jawab menginterprestasikan penglihatan.
4. DIENSEFALON
a. Talamus
terdapat pada sisi inferior thalamus dan membentuk dasar serta bagian bawah
sisi dinding ventrikel ketiga. Hipotalamus berfungsi dalam :
1) Pengendali
aktifitas SSO seperti pengetahuan frekuensi jantung, TD, suhu tubuh.
2) Pusat otak untuk emosi seperti kesenangan, nyeri, gembira, marah
3) Memproduksi
hormone.
b. Kelenjar hipofisis dianggap sebagai master kelenjar karena sejulah hormone-normondan funbgsinya diatur oleh kelenjar ini. Dengan hormone ini
dapat mengontrol fungsi ginjal,pancreas dan organ-organ reproduksi, tiroid,
korteks adrenal dan organ lain.
5. BATANG OTAK
Terletak
pada fossa anterior dan terdiri dari otak tengah, pons dan medulla oblongata.
Otak tengah menghubungkan pons dan serebelum dengan hemisfer serebrum. Bagian
ini berisi jalur dan motorik dan sebagai pusat refleks pendegaran dan
penglihatan. Pons terletak di depan serebelum antara otak tengah dan medulla
dan meerupakan jembatan antara dua bagian serebelum, dan juga antara medulla
dan serebrum. Pons berisi jaras sensorik dan motorik. Medulla oblongata
meneruskan serabut-serabut motorik dari otak ke medulla spinalis dan
serabut-serabut motorik dari otak ke medulla spinalis dan serabut sensorik
tersebut menyilang pada daerah ini.
6. SEREBELUM
Terletak
di sisi inferior pons dan merupakan bagian terbesar kedua dari otak terdiri
dari bagian sentral terkonstriksi, vermis, dan dua massa lateral, hemisfer
serebelar.Serebelum bertanggung jawab untuk mengkoordinasi dan mengendalikan
ketepatan gerakan otot dengan baik. Bagian ini memastikan bahwa gerakan yang
diletuskan di suatu tempat di SSP berlangsung dengan halus bukannya mendadak
dan tidak terkoordinasi. Serebelum juga berfungsi untuk mempertahankan postur.
Bagian ini membantu mempertahankan ekuilibrium tubuh. Informasi sensorik dari
telinga dalam dibawa ke lobus serebelum.
7. MEDULA SPINALIS
Korda jaringan otak yang terbungkus dalam kolumna vertebrata yang memanjang
dari medulla batang otak sampai ke area vertebrata lumbal pertama disebut
medulla spinalis. Berfungsi mengendalikan berbagai aktifitas refleks dalam
tubuh. Dan menstransmisi impuls ke dan dari otak melalui traktus asenden dan
desenden.
Saraf-saraf spinal. Medulla spinalis tersusun dari 33 segmen yaitu 7 segmen
servikal, 12 torakal, 5 lumbal, 5 sakral dan 5 segmen koksigius. Medulla
spinalis mempunyai 31 pasang saraf spinal.
Traktur spinalis adalah substansi putih korda yang terdiri dari akson
termielinisasi, dibagi menjadi funikulus anterior, posterior dan leteral. Dalam
funikulus, atau traktus.
a. Traktus
sensorik atau asenden membawa informasi dari tubuh ke otak.
1) Fasikulus grasilis dan fasikulus kuneatus.
Fungsi : menyampaikan informasi mengenai sentuhan, tekanan, vibrasi, posisi tubuh, dan gerakan sendi dari kulit, persendian, dan
tendon otot.
2) Traktus
spinoserebelar ventral (anterior)
Fungsi
: membawa informasi mengenai propriosepsi bawah sadar (kesadaran akan
posisi tubuh,
keseimbangan, dan arah gerakan).
3) Traktus
spinoserebelar dossal (posterior)
Fungsi
: membawa informasi mengenai propriosepsi bawah sadar (kesadaran akan posisi
tubuh, keseimbangan, dan arah gerakan).
4) Traktus
spinotalamik ventral (anterior)
Fungsi :
membawa informasi mengenai sentuhan, suhu dan nyeri.
b. Traktus
Motorik (desenden), membawa impuls motorik dari otak ke medulla spinalis dan
saraf spinal menuju tubuh.
1) Traktus
kortikospinal lateral (piromidal)
Fungsi
: menghantar impuls untuk koordinasi dan ketepatan gerakan volunteer.
2) Traktus
kortikospinal (piromidal) ventral (anterior)
Fungsi : menghantar impuls untuk koordinasi dam ketepatan gerakan volunteer.
3) Traktus ekstrapiramidal. Serabut dalam sistem ini berasal dari pusat lain;
misalnya nuclei motorik dalam korteks serebral dan area subkortikal di otak.
8. SISTEM SARAF PERIFER
a. Saraf
Kranial
1) Saraf
Olfaktori ( CN I )
2) Saraf
Optik ( CN II )
3) Saraf
Okulomotor ( CN III)
4) Saraf
Troklear € CN IV )
5) Saraf
Trigeminal ( CN V)
6) Saraf
Abdusen ( CN VI )
7) Saraf
Fasial ( CN VII )
8) Saraf
Vestikbulokoklear ( CN VIII )
9) Saraf
Glosafaringeal ( CN IX)
10) Saraf
Vagus ( CN X)
11) Saraf
Aksesori Spinal ( CN XI )
12) Saraf
Hipoglosal ( CN XII )
b. Saraf
Spinal
1) Saraf Servikal (8 pasang), C1 sampai C8
2) Saraf Toraks (12 pasang), T1 sampai T12
3) Saraf
Lumbal (5 pasang), L1 sampai L5
4) Saraf
Sacral (5 pasang), S1 sampai S5
5) Saraf
Koksiks (satu pasang).
C. PEMERIKSAAN NEUROLOGIK
Pemeriksaan
neurologik dibagi menjadi 5 komponen, yaitu : fungsi serebral, saraf-saraf
kronial, sistem motorik, sistem sensorik dan status refleks.
1. FUNGSI
SEREBRAL
Serebral yang tidak normal dapat menyebabkan ganguan pada
komunikasi, fungsi intelektual, dan dalam pola tingkah laku emosional.
a. Status
Mental
Dengan melakukan
pengkajian terhadap penampilan pasien dan tingkah lakunya, dengan melihat tata
berpakaian pasien, kerapihan, kebersihan diri, postur, sikap, gerakan tubuh,
ekspresi wajah, aktifitas motorik, gaya bicara dan tingkat kesadaran.
b. Fungsi
Intelektual
Pengkaji menentukan apakah pasien diorientasikan pada waktu, tempat dan
orang. Apakah pasien mengetahui hari apa hari ini? Apakah pasien mengetahui
siapa yang mengkaji dan apa tujuan ia berada di ruangan?
Orang yang mempunyai IQ rata-rata mampu mengulang tujuh angka tanpa
terputus-putus dan mampu untuk mengatakan kembali 5 angka ke belakang.
c. Daya
Pikir
Mengkaji kemampuan berpikir klien sangat penting selama melaksanakan
kegiatan wawancara. Apakah pikiran klien bersifat spontan, alamiah, jernih,
relevan dan masuk akal ? Apakah klien mempunyai kesulitan berpikir.
d. Status
Emosional
Apakah tingkah laku klien datar, pemarah, cemas, apatis ? Apakah alam
perasaannya berubah-ubah secara normal atau iramanya tidak dapat diduga dari
gembira sedih selama wawancara ?
e. Persepsi
Agnosia
adalah ketidakmampuan menginteprestasikan atau mengenal benda yang dilihat
dengan menggunakan perasaan yang special.
f. Kemampuan
Motorik
Pengkajian terhadap integrasi motor kortikal dapat terlihat jelas dengan
memerintahkan klien untuk melakukan aktifitas yang berhubungan dengan
keterampilan.
2. GLASGOW
COMA SCALE
Penilaian |
Respon |
Skor |
Mata |
Spontan Dengan perintah Dengan nyeri Tidak berespon |
4 3 2 1 |
Motorik |
Dengan perintah Melokalisasikan
nyeri Menarik area yang
nyeri Fleksi abnormal Ekstensi Tidak berespon |
6 5 4 3 2 1 |
Verbal |
Berorientasi Bicara
membingungkan Kata-kata yang
tidak tepat Suara tidak dapat
dimengerti Tidak ada respon |
5 4 3 2 1 |
3. PEMERIKSAAN
REFLEKS
Derajat Refleks
Hiperaktif dengan klonus terus-menerus = + 4
Hiperaktif
= + 3
Normal
= + 2
Hipoaktif
= + 1
Tidak
ada refleks
= 0
Refleks
Patologis
a. Refleks
Bisep
Refleks
bisep di dapat melalui peregangan tendon bisep pada saat siku dalam keadaanfleksi.orang yang
menguji menyokong lengan bawah dengan 1 tangan sambil menempatkan jari telunjuk
dengan menggunakan palu refleks.
b. Refleks
Triseps
Untuk
menimbulkan refleks triseps, lengan K difleksikan pada siku dan diposisikan di
depan dada. Pemeriksaan menyokong lengan K dan mengidentifikasikan tendon
triseps dengan mempalpasi 215-5cm di atas siku.Pemukulan
langsung pada tendon normalnya menyebabkan konstraksi otot triseps dan ekstensi
siku.
c. Refleks
Brakhioradialis
Pada
saat pengkajian refleks Brakhioradialis, penguji meletakkan lengan K di atas
meja lab atau disilangkan di atas perut. Ketukan
palu dengan lembut 2.5-5 cm di atas siku. Pengkajian dilakukan dengan lengan
dalam keadaan fleksi dan supinasi.
d. Refleks
Patella
Refleks patella di timbulkan dengan cara mengetok tendon patella tepat di
bawah partela. K dalam keadaan duduk atau tidur terlentang. Jika K terlentang,
pengkaji menyokong kaki untuk memudahkan relaksasi otot. Konstraksi
guadrisep dan ekstensi lutut adalah respon normal.
e. Refleks
Ankle
Buat
pergelangan kaki dalam keadaan rileks, kaki dalam keadaan dorsi fleksi pada
pergelangan kaki dan palu di ketok pada bagian tendon achiles refleks normal
yang muncul adalah fleksi pada bagian plantar. Jika penguji tidak dapat
menimbulkan refleks pergelangan kaki dan kemungkinan tidak dapat rileks, K
diinstruksikan untuk berlutut pada sebuah kursi atau tinggi sama dengan
penguji.Tempatkan pergelangan kaki dengan posisi dorso fleksi dan kurangi tegangan
otot gastroknemius. Tendon achiles digores menurun dan terjadi fleksi plantar.
Bila terjadi refleks yang sangat hiperaktif maka keadaan ini disebut klonus.
Klonus yang terus-menerus indikasi adanya penyakit SSP dan membutuhkan evaluasi
dokter.
f. Refleks
Kontraksi Abdominal
Refleks
superficial yang ada ditimbulkan oleh goresan pada kulit dinding abdomen atau
pada sisi paha untuk pria. Hasil yang didapat adalah konstraksi yang tidak
disadari otot abdomen dan selanjutnya menyebabkan skotrum tertarik.
Refleks
Non – patologis
a. Refleks
Babinsky
Refleks
yang diketahui jelas, sebagai indikasi adanya penyakit SSP yang mempengaruhi
traktus kortikospinal, disebut respon Babinsky. Bila
bagian lateral telapak kaki seseorang dengan SSP utuh digores, maka terjadi
kontraksi jari kaki dan menarik bersama-sama. Pada K yang mengalami penyakit
SSP pada sistem motorik, jari-jari kaki menyebar dan menjauhi. Keadaan
ini normal pada bayi tetapi bila ada pada orang dewasa keadaan ini abnormal.
b. Kaku
kuduk
c. Refleks
kernik ; flexi lutut 90o
d. Refleks
brudzinski I
e. Refleks
brudzinski II : flexi lutut 135o
f. Refleks
Laseque II : flexi lutut 60-70o
4. PEMERIKSAAN
TONUS OTAK
a. Nervus
I (olfaktorius)
– Fungsi
: sensasi terhadap bau-bauan
– Pemeriksaan
klinis : Dengan mata tertutup diperintahkan mengidentifikasi bau yang sudah di
kenal (kopi, tembakau). Masing-masing lubang hidung diuji secara terpisah.
b. Nervus
II (optikus)
– Fungsi
: ketajaman penglihatan
– Pemeriksaan
Klinis: Pemeriksaan dengan kartu Sneilen, lapang pandang, pemeriksaan oftal
maskopi
c. Nervus
III (okulomotorius), Nervus IV (thoklear), Nervus V, Nervus VI (abdusen)
– Fungsi
: fungsi saraf cranial IV dan VI dalam pengaturan gerakan-gerakan mata. N III
tarut dalam pengaturan gerakan kelopak mata, konstriksi otot pada pupil dan
otot siliaris dengan mengontrol akomodasi pupil.
– Pemeriksaan
klinis : Kaji rotasi ocular, menkonjugasikan gerakan nistagmus. Kaji
refleks pupil dan periksa kelopak mata terhadap adanya ptosis.
d. Nervus
V (trigeminus)
– Fungsi
: sensasi pada wajah, refleks kornea, mengunyah.
– Pemeriksaan
klinis : Anjurkan K menutup kedua mata. Sentuhkan kapas pada dahi,pipi dan
dagu. Bandingkan kedua sisi yang berlawanan. Sensitivitas terhadap nyeri daerah
permukaan dahi yang menggunakan benda runcing dan diakhiri dengan spatel lidah
yang tumpul secara bergantian. Catat masing-masing gerakan dari tusukan benda
tajam dan tumpul. Jika responnya tidak sesuai uji, sensahi suhu dengan tabung
kecil yang berisi air panas atau dingin dan gunakan saling bergantian.
Pada
saat pasien melihat ke atas, lakukan sentuhan ringan dengan sebuah gumpalan
kapas kecil di daerah temporal masing-masing kornea. Bila terjadi kedipan mata
keluarnya air mata adalah merupakan respon yang normal.
Pegang
daerah rahang dan rasakan gerakan dari sisi ke sisi palpasi otot maseter dan
temporal, apakah kekuatannya sama atau tidak ada.
e. Nervus
VII (fasial)
– Fungsi
: gerakan otot wajah, ekspresi wajah, sekresi air mata dan ludah, rasa kecap
2/3 anterior lidah.
– Pemeriksaan
klinis : Observasi simetris gerakan wajah saa tersenyum, bersiul, mengangkat
alis, mengerutkan dahi saat menutup mata rapat-rapat (juga saat membuka mata).
Observasi apakah wajah paralysis flaksid (lipatan dangkal nasolabial).
K mengekstensikan lidah, kemampuan lidah membedakan rasa gula dan garam.
f. Nervus
VIII (vestiboluklear)
– Fungsi
: keseimbangan dan pendengaran
– Pemeriksaan
klinis : Uji bisikan suara dan bunyi detak jam. Uji untuk lateralisasi (weber). Uji
untuk konduksi udara dan tulang (rinne)
g. Nervus
IX (glosofaringeus)
– Fungsi
: rasa kecap 1/3 lidah bagian posterior
– Pemeriksaan
klinis : Kaji kemampuan K untuk membedakan rasa gula dan garam 1/3 lidah posterior.
h. Nervus
X (vagus)
– Fungsi
: kontraksi faring, gerakan simetris dari pita suara, gerakan simetris palatum
mole, gerakan dan sekresi visera torakal daan abdominal.
– Pemeriksaan
klinis : Tekan spatel lidah pada lidah posterior, atau menstimulasi faring
posterior untuk menimbulkan refleks menelan.
Adanya
suara serak.
Minta
pasien mengatakan “ah”. Observasi terhadap peninggian ovula simetris dan palatum
mole.
i. Nervus
XI (aksesoris spinal)
– Fungsi
: gerakan otot stemokleidomastoid dan trapezius
– Pemeriksaan
klinis : Palpasi dan catat kekuatan otot trapezius pada K saat mengangkat bahu
sambil dilakukan penekanan. Palpasi dan catat kekuatan otot sternokleidomastoid
K saat memutar kepala sambil dilakukan penanganan dengan tangan penguji ke arah
yang berlawanan.
j. Nervus
XII (hipoglosus)
– Fungsi
: gerakan lidah
– Pemeriksaan
klinis : Bila K menjulurkan lidah keluar, terhadap deviasi atau tremor. Kekuatan
lidah menguji dengan cara K menjulurkan lidah dan menggerakkan ke kiri atau
kanan sambil di beri tahanan.
5. PEMERIKSAAN
SENSORIK
– Sensasi
Taktil
– Sensasi
nyeri dan Suhu
– Vibrasi
dan propriosepsi
– Merasakan
Posisi
– Integrasi
Sensasi
D. PERTIMBANGAN GERONTOLOGIK
Sistem
saraf pada lansia mengalami banyak perubahan dari normal menuju proses penuaan
dan lebih ekstreem lagi lebih rentan terhadap penyakit sistemik umum.
1. Perubahan Struktural. Lansia sering mengalami bentuk tubuh menjadi fleksi
dan memperlihatkan kekuatan otot, tresmon dan lambat dalam bergerak.
2. Perubahan Sensori. Isolasi sensori karena berkurangnya penglihatan dan
pendengaran menyebabkan konfusi, cemas, disorientasi, salah inteprestasi dan
perasaan yang tidak adekuat.
3. Regulasi suhu dan persepsi nyeri. Manifestasi lain pada
perubahan nerologik dihubungkan dengan pengaturan suhu dan kemampuan untuk
merasa nyeri.
4. Perubahan
penghidu dan pengecap. Ketajaman sensasi rasa pada pucuk pengecap menurun
dengan pertambahan usia bersamaan dengan perubahan sensasi olfaktorius yang
menyebabkan penurunan nafsu makan.
5. Perubahan visual dan taktil. Pernurunan sensasi raba pada benda yang
tumpul.
6. Status
mental. Meliputi dementia, delirium dan depresi.
E. PENUAAN SISTEM NEUROLOGIS
1. Perubahan
structural
a. Lansia sering mengalami bentuk tubuh fleksi dan memperlihatkan kekakuan
otot,tremor dan lambt dalam brgerak. Perubahan struktur yang terjadi diantarnya
adalah penurunan jumlah otak dan sinaps. Hilangnya neuron terjadi pada lapisan
tertentu dan bagian otak ,tetapi tidak selalu menyeluruh mengenai ssp.
Hilangnya memori,terutama kejadian baru dan reaksi berulang yang lambat dapat
mengganggu individu lansia dan mereka juga mengalami kesulitan memilih beberapa
respon padam satu situasikecuali diberi waktu yang cukup untuk mencapai
keputusan.
b. Struktur dan fungsi system syaraf berubah dengan bertambahnya usia yang
tidak bias diganti. Terjadi penurunan sintesis dan metabolisme neurotransmitter
utama. Impuls saraf dihantarkan lebih lambat sehingga lansia memerlukan waktu
yang lebih lama untuk merespon dan bereaksi. Kinirja sistem saraf autonm
berkurang efisiensinya dan hipotensi postural yang menyebabkan seseorang merasa
pusing. Tekanan darah sistolik meningkat disebabkan karena kelenturan dandang
pembuluh darah yang berkurang seirang dengan bertambahnya usia.
c. Selain
itu perubahan structural meliputi dilatasi ventrikel,atrofi otak dan
meningkatnya variailitas ukuran otak:
– Penurunan berat otak 10-20 %
– Reduksi dari jumlah fungsi neuron
– Peningkatan jumlah flak senile dan penyusutan neurofibril
– Akumulasi
dari limfofusin
2. Perubahan
synaptic
a. Perubahan
synaptic meliputi kehilagan dendrite dan dendritik pada beberapa sel dan
peningkatan jumlah dendrite didalam sel lainnya. Perubahan ini dapat mempengaruhi
dalam pembebasan neurotransmitter kimia sehingga mempengaruhi dalam pembentukan
dopamine dan menyebabkan perubahan transmisi antara sel syaraf dan otot
berkurang.
b. Perubahan
yang terjadi pada system saraf autonom berpengaruh terhadap kontraksi otot-otot
yang tidak dibawah control kesadaran. Saraf simpatis yang bagiannya terdiri
dari norepinefrin dan asetilkoli dipercaya sebagai pemicu dalam penekanan alam
perasaan dan mempengaruhimdalam kekaauan pergerakan seperti pada penyakit
Parkinson.
PENGARUH
TERHADAP LANSIA:
a. Fisik
:
Lansia akan mengalami kesulitan dalam memulai suatu pergerakan dan terjadi
kekakuan otot
Sikap tubuhnya menjadi bungkuk dan sulit mempertahankan keseimbangan
sehingga cenderung mudah jatuh kedepan atau kebelakang
Wajah penderita menjadi kurang ekspresif karena otot-otot wajah untuk
membentuk ekspresi tidak bergerak
b. Fungsi
tubuh;
Kekakuan dan
imobilitas bias menyebabkan sakit otot dan kelelahan
Lansia sering ersedak
karena kekakuan pada otot wajahbdan tenggorokan menyebabkan kesulitan menelan
Hilannnya
pengendalian terhada kandung kemih
Penglihatan ganda
Terjadi edema atau
pembengkakan otak
c. Persepsi-sensori
Hilangnya sebagian
penglihatan atau pendengaran
Penglihatan ganda
Hilangnya rasa atau
adanya ensasi abnormal pada salah satu sisi wajah
d. Psikososial
Stress emosional
atau kelelahan
Depresi atau ketidakmampuan
untuk mengendalikan emosi
e. Bahasa
dan bicara
Sulit memikirkan
atau mengucpkan kata-kata yang tepat
Lansia berbicara
sangat pelan tanpa aksen dan menjadi gagap karena mengalami kesulitan dalam
mengartikulasikan pikirannya.
f. Memori
Masalah
umum pada lansia meliouti meluoakan nama benda dan lemah dalam percakapan atau
peristiwa baru. Memotri jangka pendek mungkin
menurun seirang dengan usia tetapi daya ingat jangka panjang sering
dipertahankan. Kerusakan memori seperti gejala pelupa mungkin
disebabkan sindrom amnesia.
g. Kognitif
Penurunan kognitif sangat rendah dalam proses penuaan yang normal.
Ketrampilan kognitif dapat dikategorikan sebagai ketrampilan intelektual dan
dasar ketrampilan psikomotor.
F. MASALAH-MASALAH PADA LANSIA
1. EPILEPSI
Adalah suatu penyakit yang ditandai dengan kecenderungan untuk mengalami
kejan berulang.
Gejala
:
– Kejang
parsial simplex dimulai dengan muatan listrik di bagian otak tertentu dan muatan
ini tetap terbatas di daerah tersebut.
– Penderita
mengalami sensasi. Gerakan atau kelainan psikis yang abnormal, tergatung kepada
daerah otak yang terkena. Jika terjadi di bagian otak yang mengendalikan
gerakan otot lengan kanan akan bergoyang dan mengalami sentakan : jika terjadi
pada lobus temporalis anterior sebelah dalam, maka penderita akan mencium bau
yang sangat menyenangkan atau sangat tidak menyenangkan.
– Pada
penderita yang mengalami kelainan psikis bisa mengalami déjà vu (merasa
pernah mengalami keadaan sekarang di masa lalu).
Penyebab
:
– Tumor, infeksi atau kadar gula maupun natrium yang abmormal.
Pencegahan
– Jika
penyebabnya adalah tumor, infeksi atau kadar gula maupun natrium yang abnormal,
maka keadaan tersebut harus diobati terlebih dahulu. Jika keadaan tersebut
sudah teratasi, maka kejangnya sendiri tidak memerlukan pengobatan.
– Jika
penyebabnya tidak dapat disembuhkan atau dikendalikan secara total, maka
diperlukan obat anti kejang untuk mencegah terjadinya kejang lanjutan.
Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati kejang.
Obat |
Jenis Epilepsi |
Efek samping yang mungkin
terjadi |
- Karbamazepin - Etoksimid - Gabofentin - Lamotrigin - Fenobarbital - Fenitoin - Primidon - Valproat |
- Generalisata
pansial - Petit mal - Parsial - Generalisata,
parsial - Generalisata,
parsial - Generalisata,
parsial - Generalisata,
parsial - Kejang
infantile, petit mal |
- Jumlah
sel darah putih dan sel darah berkurang. - Jumlah
sel darah putih dan darah merah berkurang. - Terang - Ruam
kulit - Terang - Pembengkakan
gusi - Terang - Penambahan
berat badan, rambut rontok. |
2. TREMOR
Adalah suatu gerakan gemetar yang berirama dan tidak terkendali, yang
terjadi otot berkontraksi dan bereleksasi secara berulang-ulang.
Penyebab:
– Tremor terjadi karena adanya gangguan pada persarafan yang menuju ke otot
yang terkena.
Gejala:
Tremor bisa timbul sekali-sekali, untuk sementara waktu atau hilang timbul:
dengan kecepatan sekitar 6-10 tremor / detik. Tremor bisa terjadi pada otot
kepala, tangan, lengan, kelopak mata dan otot lainnya; tetapi jarang mengenai
bagian bawah tubuh. Bisa juga terjadi
pada salah satu maupun kedua sisi tubuh.
Pengobatan:
Jika sifatnya ringan dan tidak menganggu sehari-hari, biasanya tidak
diperlukan pengobatan.
Obat-obat yang bisa mengurangi tremor adalah propanolol, misolin, dan anti
kejang lainnya, seperti obat penenang yang ringan.
3. DELIRIUM
Adalah
keadaan yang bersifat sementara dan biasanya terjadi secara mendadak, dimana
penderita mengalami penurunan kemampuan dalam memusatkan perhatiannya dan
menjadi linglung, mengalami disorientasi dan tidak mampu berpikir secara
jernih.
Penyebab
:
– Alkohol,
obat-obatan dan bahan beracun.
– Efek
toksik dari pengobatan
– Kadar elektrolit, garam dan mineral (misalnya kalsium, natrium atau
magnesium) yang tidak normal akibat pengobatan, dehidrasi atau penyakit tertentu.
– Infeksi
akut disertai demam.
– Hidrosefalus
bertekanan normal: yaitu suatu keadaan dimana cairan yang membantali otak tidak
diserap sebagaimana mestinya.
– Hematoma
subdural
– Meningtis,
ensefalitis, sifilis
– Kekurangan
vitamin B 12
– Hipotiroidisme
– Tumor
otak
– Stroke
Gejala:
Penderita tidak mampu memusatkan perhatian, tidak dapat berkonsentrasi,
tidak dapat mengingat peristiwa yang baru saja terjadi. Mengalami disorientasi
waktu, dan bingung dengan tempat dimana ia berada. Pikiran kacau, mengigau dan
terjadi inkoherensia.
Pengobatan:
Pengobatan
tergantung pada penyebabnya:
– Infeksi
diatasi dengan antibiotic
– Demam
diatasi dengan obat penurun panas.
– Kelainan
kadar garam dan mineral dalam darah diatasi dengan pengaturan kadar cairan dan
garam dalam darah.
Untuk meringankan agitasi diberikan obat-obat benzodiazepine (misalnya
diazepam, triazolam, dan temazepam). Obat anti-psikosa (misalnya haloperidol,
trioridazin danklorpromazin) biasanya diberikan hanya kepada penderita yang
mengalami paranoid atau sangat ketakutan atau penderita yang tidak dapat
ditenangkan denagn benzodiazepine. Jika penyebabnya adalah alcohol, diberikan
benzodiazepine sampai masa agitasi penderita hilang.
4. DIMENSIA
Adalah
penurunan kemampuan mental yang biasanya berkembanmg secara perlahan, dimana
terjadi gangguan ingatan, pikiran, penilaian dan kemampuan untuk memusatkan
perhatian, dan bisa terjadi kemunduran kepribadian.
Penyebab:
– Penyakit
Alzheiner
– Serangan
stroke yang berturut-turut
– Penyakit
Parkinson
– AIDS
Gejala
:
– Terjadi
penurunan dalam ingatan, kemampuan untuk mengingat waktu untuk mengenali orang,
tempat dan benda.
– Penderita
memiliki kesulitan dalam menemukan dan menggunakan kata yang tepat dan dalam
pemikiran abstrak.
– Sering
terjadi perubahan kepribadian.
– Dimensia
karena penyakit Alzheimer, gejala awalnya: lupa akan peristiwa yang baru saja
terjadi, depresi, ketakutan, kekecewaan, penurunan emosi.
Pengobatan:
– Obat
takrin membantu penderita dengan penyakit Alzheirmer
– Jika
hilangnya ingatan disebabkan oleh depresi, diberikan obat anti – depresi.
– Obat
anti-psikotik efektif diberikan kepada penderita yang mengalami halusinasi atau paranoia.
5. DISTONIA
Adalah kelainan gerakan dimana konstraksi otot yang terus-menerus
menyebabkan gerakan berputar dan berulang atau menyebabkan sikap tubuh yang
abnormal.
Penyebab:
Adanya kelainan di beberapa daerah di otak (ganglia basalis, thalamus,
korteks serebri).
Diduga terdapat kerusakan pada kemampuan tubuh untuk mengolah sekumpulan
bahan kimia yang disebut neurotransmitter, yang membantu sel-sel di dalam otak
untuk berkomunikasi satu sama lain.
Gejala distonik bisa disebabkan oleh :
– Cedera
ketika lahir (terutama karena kekurangan oksigen)
– Infeksi
tertentu
– Reaksi
terhadap obat tertentu, logam berat atau keracunan monoksida.
– Trauma
– Stroke
Gejala:
– Gejala
awal adalah kemunduran dalam menulis, keram kaki, dan kecenderungan tertariknya
satu kaki ke atas atau kecenderungan menyeret kaki setelah berjalan atau
berlari pada jarak tertentu.
– Leher
berputar atau tertarik di luar kesadaran penderita, terutama ketika penderita
merasa lelah.
– Tremor
dan kesulitan berbicara atau mengeluarkan suara.
Klasifikasi
Distonia:
– Distonia
Generalisata, mengenai sebagian besar atau seluruh tubuh.
– Distonia
fokal, terbatas pada bagian tubuh tertentu.
– Distonia
Multifokal, mengenai 2 atau lebih bagian tubuh yang tidak berhubungan.
– Distonia
Segmental, mengenai 2 atau lebih bagian tubuh yang berdekatan.
– Hemidistonia,
melibatkan lengan dan tungkai pada sisi tubuh yang sama, seringkali merupakan
akibat dari stroke.
Pengobatan:
– Obat
yang diberikan merupakan sekumpulan obat yang mengurangi kadar neurotransmitter
asetilkolin, yaitu triheksifenidil, beenztropin, dan prosiklin HCL.
– Obat
yang mengatur neurotransmitter GABA bisa digunakan bersama dengan obat di atas
atau diberikan tersendiri, yaitu: diazepam, lorazepam, klorazepam dan baklofen.
– Dopamine
– Untuk
mengendalikan epilepsy diberikan obat anti kejang
karbamazepin.
Racun
Botulinum
– Sejumlah
kecil racun ini bisa disuntikkan ke dalam otot yang terkena untuk mengurangi
distonia fokal.
6. ALZHEIMER
Merupakan salah satu bentuk demensia yang paling sering ditentukan di
klinik.
Penyebab:
Terjadi kehilangan sel saraf di otak di area yang berkaitan dengan fungsi
daya ingat, kemampuan berpikir serta kemampuan mental lainnya. Keadaan ini
diperburuk dengan penurunan zat neurotransmitter, yang berfungsi untuk
menyampaikan sinyal antara satu sel otak ke sel otak yang lain.
Gejala:
– Mengajukan pertanyaan yang sama pada suatu saat berulang-ulang atau mengulangi
cerita yang sama, dan kata-kata yang sama terus-menerus.
– Lupa
cara untuk melakukan kegiatan rutin. Misalnya lupa cara memasak dan sebagainya.
– Gangguan
berbahasa.
– Disorientasi
– Gangguan
berpikir secara abstrak.
– Gangguan
kepribadian
– Gangguan
untuk membuat keputusan sehingga menjadi tergantung pada pasangannya.
Pengobatan:
Sampai
saat ini belum ada pengobatan yang dapat menyembuhkan penyakit Alzheimer.
Obat-obatan yang ada bersifat memperlambat progresivitas penyakit.
Pencegahan:
Dengan
mengetahui faktor resiko di atas dan hasil penelitian yang lain, dianjurkan
beberapa cara untuk mencegah penyakit Alzheimer, diantaranya:
– Bergaya
hidup sehat
– Mengkonsumsi
sayur dan buah segar
– Menjaga
kebugaran mental (mental fitness)
7. ATAKSIA
Merupakan suatu penyakit dimana bagian dari sistem saraf yang mengendalikan
gerakan mengalami kerusakan.
Penyebab:
Sebagian besar gangguan yang menghasilkan ataksia disebut serebellum (otak
kecil) memburuk atau atrofi. Kadang urat saraf tulang belakang (spinal cord)
juga terpengaruh. Degenerali serebral dan spino serebral digunakan untuk
mendeskripsikan perubahan yang terjadi pada sistem saraf manusia, namun bukan
diagnosa yang spesifik. Degenerali serebral dan spino serebral
memiliki banyak penyebab.
Gejala:
– Kelainan
reresif umumnya menyebabkan gejala yang dimulai sejak masa kanak-kanak
dibandingkan dewasa.
– Tidak
adanya koordinasi tangan, lengan dan kaki dan kemampuan berbicara adalah gejala
umum lainnya.
– Gerakan
mata yang lambat
BAB III
ASUHAN
KEPERAWATAN
I. ASUHAN
KEPERAWATAN GANGGUANG SYARAF (STROKE)
A. PENGKAJIAN
1. Data
Biografis
– Identitas, umur, jenis kelamin, riwayat pekerjaan.
2. Riwayat
kesehatan saat ini
– Keluhan
nyeri, gangguan motoris dan sensoris
3. Riwayat
kesehatan masa lalu
– Riwayat
trauma kepala, infeksi, gangguan kardiovasculer, gangguan pernapasan, gangguan
tiroid, penggunaan obat-obatan.
4. Riwayat
kesehatan keluarga
– Genogram,
hypertensi, stroke, epilepsy.
5. Riwayat
psikososial
– Lingkungan rumah, pekerjaan, perasaan putus asa, tidak mampu
mengekspresikan perasaan.
6. Aktifitas
sehai-hari dan istirahat
– Keterbatasan dan kelemahan, paralysis, mudah lelah, hemiplegia, perubahan
tonus otot / gangguan istirahat.
7. Pola
nutrisi
8. Pola
eliminasi
9. Gaya
hidup
B. DIAGNOSA
KEPERAWATAN
1. Perubahan
perfusi jaringan otak b/d terhambatnya aliran darah,adanya oklusi.
2. Bersihkan
jalan nafas tidak efektif b/d kehilangan refleks menelan, gangguan batuk dan
penurunan kesadaran.
3. Gangguan mobilitas b/d kelemahan dan paralise
4. Gangguan komunikasi verbal atau tulisan b/d kerusakan sirkulasi otak,
gangguan neuromoskular.
5. Perubahan persepsi sensasi b.d deficit neurologist, stress psikologis.
6. Kurang perawatan diri b.d kerusakan neuromoskular, penurunan kekuatan dan
ketahanan, kehilangan control / koordinasi otot
C. TUJUAN
DAN KRITERIA HASIL
1. Pasien dapat mempertahankan tingkat kesadaran dengan KH:
– Tidak terdapat perubahan
dalam respon motorik : gelisah
– Emosi pasien dalam keadaan
stabil
– Tanda-tanda vital dalam
batas normal.
TD = RR =
Nadi = Suhu =
– Tidak ada peningkatan TIK:
Muntah, nyeri kepala nedema papil.
2. Jalan nafas pasien kembali efektif,
dengan KH:
– Bunyi nafas kembali normal
(vosculer)
– Dapat mengeluarkan secret
– Batuk tidak ada
3. Pasien dapat memperlihatkan mobilitas
maksimum dalam batasan penyakit, dengan KH:
– Menggunakan tindakan
pengamanan untuk meminimalkan kemungkinan cedera
– Adanya peningkatan
mobilitas
– Mempertahankan mobilitas
optimal yang ditandai dengan adanya konstraktur
4. Kerusakan komunikasi verbal dapat
dikurangi, dengan KH:
– K memperlihatkan
kemempauan untuk mengekspresikan diri
– K mampuu mengungkapkan
penurunan frustasi yang ditunjukkan dengan adanya komunikasi.
5. Tidak terjadi perubahan
persepsi-sensori, dengan KH :
– K mampu mempertahankan
tingkat kesadaran
– K mampu menyebutkan posisi
/ bagian tubuh
– K mampu mengenal tempat ,
waktu, orang.
6. Klien mampu melakukan perawatan diri,
dengan KH:
– K dapat mendemonstrasikan
teknik untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri
– K mampu melakukan
aktivitas perawatan diri dalam tingkat kemampuan sendiri.
D. INTERVENSI
DX
1. Perubahan perfusi jaringan otak b.d terhambatnya aliran darah, adanya
oklusi.
1. Kaji
status neurologist
R/ :
mengetahui kecenderungan tingkat kesadaran dan potensial penurunan TIK dan
mengetahui lokasi luas dan resolusi kerusakan SSP.
2. Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan penyebab khusus selama
penurunan perfusi.
R/ : Mempengaruhi penetapan intervensi, kerusakanan / kemunduran tanda /
gejala neurologist pada fase awal memerlukan tindakan pembedahan.
3. Monitor
TTV
R/ :
Mengetahui keadaan umum K dan memantau adanya perubahan yang mencolok.
4. Posisikan K dengan posisi kepala agak ditinggikan dan dalam posisi anatomis.
R/ : Menover valvasa dapat menaikkan TIK dan memperbesar resiko perdarahan
G.kolaborasi dalam pemberian therapy, seperti pelunak feses.
R/ : Mencegah proses mengejar selama defekasi yang b/d peningkatan TIK.
DX
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d kehilangan refleks menelan, gangguan
batukdan penurunan kesadaran.
1. Kaji
tanda obstruksi trakeobronkhial
R/ : Mempengaruhi penetapan intervensi yang tepat.
2. Lakukan
suction dengan teknik yang tepat
R/ : Membersihkan jalan nafas dan mencegah terjadinya hypoxia.
3. Letakkan
K pada posisi tegak selama dan setelah makan.
R/ :
Menggunakan gravitasi untuk memudahkan proses menelan dan menurunkan resiko
terjadinya aspirasi.
4. Catat
pola dan irama dari pernafasan, seperti adanya periode apnea setelah
pernafasan, hiperventilasi, pernafasan chieyne – strokes
R/ : Ketidakteraturan pernafasan dapat memberikan gambaran lokasi kerusakan serebral / penaikan
TIK
5. Sentuh bagian pipi dalam dengan spatel lidah untuk mengetahui adanya
kelemahan lidah.
R/ : Untuk mengontrol gerakan lidah dan mencegah lidah jatuh ke belakang.
DX. 3. Gangguan mobilitas b.d. kelemahan dan paralise.
1. Kaji kemampuan secara fngsional dengan teratur, klasifikasikan melalui
skala 0-4.
R/ :Mengidentifikasi kekuatan / kelemahan dan dapat memberikan informasi
mengenai pemulihan.
2. Ubah posisi minimal setiap 2 jam (terlentang, miring) dan jika memungkinkan
bias lebih sering jika diletakkan dalam posisi bagian yang terganggu.
R/ : Menurunkan terjadinya trauma jaringan dan mencegah terjadinya
dekabitus.
3. Lakukan
rentang gerak aktif dan pasif pada semua ekstremitas.
R/ : meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi dan membantu mencegahkontraktur.
4. Gunakan penyangga lengan ketika K berada pada posisi tegak sesuai indikasi.
R/ : Selama paralysis flasid, penggunaan penyangga dapat menurunkan resikoterjadinya subluksasio lengan dan sindrom bahu – lengan.
5. Posisikan lutut dan panggul dalam posisi ekstensi.
R/ :
Mempertahankan posisi fungsional.
E. EVALUASI
1. Perfusi
jaringan terpenuhi
– Tingkat kesadaran K baik
– TTV dalam batas normal
2. Jalan
nafas kembali efektif ditandai dengan :
– Tidak terdapat hambatan
jalan nafas.
– Pola dan irama pernafasan
vasikuler.
– K mampu bernafas seperti
bias.
3. Mobilisasi
terpenuhi, ditandai dengan :
– K dapat beraktifitas
seperti biasa
– Tidak terdapat kontraktus
– Tidak terjadi atrofi otot
II. ASUHAN
KEPERAWATAN GANGGUANG SYARAF (PARKINSON’S)
A. PENGKAJIAN
1. Riwayat
kesehatan dan pengkajian berfokus pada bagaimana penyakit mempengaruhi
aktivitas pasien dan kemampuan berfungsi. Pasien diobservasi mengenai apakah
mereka dapay melakukan dan apakah terjadi perubahan dala fungsi. Respon-respon setelah pemberian medikasi juga diperhatiokan. Pasien dapat
ditanyakan apakah mereka melihat ada perbaikan. Pertanyaan berikut
dapat membantu:
– Apakah klien mengalami kekakuan tangan atau kaki?
– Apakah klien mengalami sentakan tidk teratur pada tangan atu kaki?
– Apakah klien mengalami “beku’ atau terpaku dan tidak mampu bergerak?
– Apakah air liur klien berlebihan?
– Pernahkah klien melihat diri klien meringis atau membuat gerakan wajah atau
mengunyah?
– Aktivitas fisik apa yang susah klien lakukan?
Selama
pengkajian pasien diobservasi pada saat berjalan,bergerak atau minum
2. Gejala
awal: kelemahan,cenderung untuk menetap,gerakan lambat atau kekakuan pada
eksremitas yang terserang, kehilangan beberapa ekspresi wajah, kualitas bicara
tenang,lengan cenderung fleksi pada siku.
– Tremor:
bibir,rahang,lidah,otot-otot wajah,dan otot ekstremitas,biasanya tremor saat
isirahat,saat menulis,dengan tulisan yang semakin kecil(mikrografia)
– Postur dan rigiditas: gaya
berjalan menghindar tanpa ayunan tangan,hipertonicitas
– Keseimbangan: festination
(tubuh semakin miring seiring langkah kaki), propulsion( langkah kedepan dan
tubuh miring), lateropulsion( langkah kesamping dan tubuh miring)
– Wajah: seperti topeng,mata
kurang berkedip
– Bicara: pengulangan
kalimat secara tidak sadar,penurunan amplitude,irama cepat tapi lembut
– Gradual demensia
awal:
pelupa,episode bingung minor,depresi
lanjut:
irritable, paranoid dan halusinasi,delirium
– disfungsi autonom:
peningkatan sekresi sebum,menyebabakn kulit bersisik,erupsi eritematous pada
kulit (kususnya pada telinga,alis,kulit kepala dan lipatan hidung),keringat
berlebihan,intermiten;konstipasi kronis,sering kencing dan hesistansi,hipotensi
ortostatik dan disfagia
– nutrisi: kegagalan
delusion,kehilangan BB,kegagalan otot krikofaringeal untuk relaksasi.
B. DIAGNOSA
KEPERAWATAN
1. Kerusakan
aktifitas fisik b.d tremor, bradikinesia, rigiditas dan kerusakan berjalan.
2. Perubahan
nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d. tremor, rigiditas otot-otot
pencernaan, disfagia, kehilangan nafsu makan, serta kesulitan mengunyah dan
menelan.
3. Konstipasi b.d. keterbatasan fungsi motorik dan imobilitas.
4. Kerusakan komunikasi verbal b.d. penurunan volume bicara, kesulitan
menggerakkan otot wajah dan disartria.
5. Inefektif
koping individu b.d. kurangnya control mengatasi proses penyakit dan perubahan
body image.
6. Resiko
tinggi cedera b.d. tremor dan rigiditas otot, kerusakan kognitif dan hipotensi
ortostatik.
C. TUJUAN
dan KRITERIA HASIL
1. Pasien dapat memperlihatkan mobilitas maksimum dalam batasan penyakit,
dengan KH:
– Menggunakan tindakan
pengamatan untuk menimalkan kemungkinan cedera.
– Adanya peningkatan
mobilitas.
– Mempertahankan mobilitas
optimal yang ditandai dengan tidak adanya konstraktus.
2. Kebutuhan nutrisi sesuai dengan usia
dan keperluan tubuh terpenuhi, dengan KH:
– Tidak ada kesulitan
mengunyah dan menelan.
– Mual tidak ada.
– Nafsu makan meningkat.
– Muntah tidak ada.
– Berat badan menigkat (1/2
kg / mg)
3. Konstipasi tidak ada, dengan KH:
– Pola fungsi usus kembali
normal (Bising usus 6 – 12x / menit)
– Pola defekasi kembali
normal setiap 1-3 hari
– Tidak menggunakan laksatif
untuk membantu BAB
4. Kerusakan komunikasi verbal dapat
dikurangi, dengan KH:
– K memperlihatkan kemampuan
untuk mengekspresikan diri.
– K mampu mengungkapkan
penurunan frustasi yang ditunjukkan dengan adanya komunikasi.
5. Pasien dapat terhindar dari cedera
b.d. ketidakmampuannya, dengan KH:
– K dapat mengidentifikasi
factor-faktor yang meningkatkan kemungkinan cedera.
– K mampu melakukan tindakan
pengamanan untuk mencegah cedera.
D. PERENCANAAN
DX.
1. Kerusakan aktifitas fisik b/d tremor, bradikinesia, rigiditas dan kerusakan
berjalan.
1. Monitor
tanda-tanda vital.
R/ :
Untuk mengtahui kondisi umum K dan mencegah adanya komplikasi.
2. Kaji
rigiditas / tremor otot, bradikinesia, dan mencegah adanya komplikasi.
R/
: Defisiensi dopamine menyebabkan gejala-gejala penyakit Parkinson.
3. Berikan latihan ROM aktif dan pasif.
R/ : Mencegah kontraktus sendi dan kekakuan.
4. Anjurkan K untuk mandi dengan air hangat dan berikan massage.
R/ : Untuk membantu merelaksasikan otot.
5. Anjurkan K untuk beristirahat yang cukup.
R/
: Untuk mencegah
kelelahan dan frustasi.
6. Kolaborasi
dengan dokter untuk pemberian obat secara tepat waktu, dosis serta catat respon
K terhadap pengobatan.
R/ : Obat harus diberikan tepat waktu untuk menghindari agravasi gejala dan
dosis yang diberikan tergantung pada respon K.
DX. 2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d tremor, rigiditas
otot pencernaan, disfagia, kehilangan nafsu makan serta kesulitan mengunyah dan
menelan.
1. Monitor
berat badan
R/ : Untuk mengetahui tingkat kekurangan nutrisi pasien.
2. Kaji kebiasaan makan K, tingkat rigiditas, tremor pada otot-otot saat
mengunyah dan kaji adanya disfagia.
R/ : Otot-otot yang berperan untuk mengunyah dan makan dapat dipengaruhi
oleh proses penyakit Parkinson.
3. Ciptakan lingkungan yang nyaman dengan menghindari hal-hal yang menganggu
selera makan.
R/ : K dapat berkonsentrasi pada mekanisme makan, tanpa adanya distraksi
dari lingkungan.
4. Lakukan prekuasi untuk mencegah aspirasi dan batuk : angkat kepala tempat
tidur, pertahankan kepala agak fleksi.
R/ : Resiko aspirasi dan batuk meningkat sesuai dengan perkembangan
penyakit.
5. Berikan K makanan semi lunak jika memiliki kesulitan menelan.
R/ :
Makanan semi lunak mudah ditelan dan mencega aspirasi.
6. Berikan pasien makanan berkalori tinggi.
R/ : Untuk mempertahankan intake nutrisi yang adekuat.
7. Berikan makan dalam porsi kecil tapi sering.
R/ : Makanan kecil lebih mudah dicerna dan mengurangi depresi
8. Kolaborasi
untuk pemberian obat sebelum makan.
R/ : Untuk mengurangi rigiditas dan tremor pada otot-otot mengunyah dan
menelan.
DX.
3. Konstipasi b.d. Keterbatasan fungsi motorik dan imobilitas.
1. Kaji
pola frekuensi dan konsistensi feres saat BAB
R/ : Untuk mengetahui tingkat kesulitan saat BAB
2. Berikan
makanan dengan serat seimbang.
R/
: Untuk mempermudah
defekasi
3. Tingkatkan intake cairan sedikitnya 2000 ml / hari.
R/
: Intake cairan
yang cukup dapat melunakkan feses dan memfasilitasi eliminasi.
4. Berikan
privasi dan posisi fowler dengan jadwal waktu teratur.
R/ : Meningkatkan usaha evakuasi feses.
5. Auskultasi
bising usus, catat ada tidaknya perubahan biang usus
R/ : Penurunan atau hilangnya bising usus mengindikasikan adanya ileus
paralitik yang berarti hilangnya motilitas usus dan ketidakseimbangan
elektrolit.
6. Catat
adanya distensi abdomen.
R/ : Distensi abdomen mencerminkan perkembangan ileus paralitik.
7. Anjurkan
minum 1 gelas air hangat 30 menit sebelum sarapan.
R/ : Air hangat dapat bertindak sebagai stimulus untuk evakuasi usus.
8. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat pelunak feses.
R/ : Mencegah konstipasi, menurunkan distensi abdomen dan menbantu
keteraturan defekasi.
DX. 4. Kerusakan komunikasi verbal b.d. penurunan volume bicara, kesulitan
menggerakkan otot wajah dan disartria.
1. Kaji
tipe atau derajat disfungsi bicara.
R/ : Membantu menentukan daerah dan derajat kerusakan pusat wicara.
2. Perhatikan
kesalahan dalam komunikasi dan berikan umpan balik.
R/ : Umpan balik memberi kesempatan untuk mengkalrifikasikan isi makna
ucapan K.
3. Tunjukkan objek dan minta K menyebutkan nama benda tersebut.
R/ : Melakukan penilaian terhadap kerusakan motorik.
4. Berikan metode komunikasi alternative, seperti : menulis dan menggambar.
R/ : Memberikan komunikasi tentang kebutuhan berdasarkan keadaan / deficit
yang mendasari.
5. Hargai
kemampuan pasien.
R/ : Memberikan reward dapat meningkatkan harga diri K.
6. Kolaborasi dengan ahli terapi wicara.
R/ : Pengkajian secara individual kemampuan bicara dan sensori, motorik
serta kognitif berfungsi untuk mengidentifikasi kekurangan / kebutuhan terapi.
DX.
5. Resiko tinggi cedera b/d tremor, rigiditas, kerusakan kognitif dan hipotensiontostatik.
1. Kaji
tanda-tanda vital.
R/ :
Untuk mengetahui kondisi umum K, hipotensi static mengkalrifikasikan perfusi
darah dan O2 ke jaringan otak yang menurun.
2. Kaji
tingkat kesadaran K.
R/
: Penurunan tingkat kesadaran mengidentifikasi penurunan perfusi
jaringan otak yang dapat memicu terjadinya kerusakan kognitif.
3. Orientasikan K terhadap lingkungan di
sekitarnya.
R/
: Mempertahankan keamanan K dan mengurangi resiko cedera.
4. Kaji
tingkat ketidakmampuan K : Kaji hipotensi ortostatik dan berbagai kerusakan
kognitif.
R/ :
Derajat ketidakmampuan b/d hipotensi ortostatik adalah efek samping dipengobatan yang diberikan.
5. Ajarkan
teknik untuk menurunkan hipotensi ontostatik dengan mengubah posisi secara
perlahan, bergerak dari posisi berbaring ke posisi berdiri secara perlahan dan
menghindari berdiri terlalu lama.
R/
: Mengurangi resiko jatuh.
6. Pertahankan tempat tidur serendah mungkin dan pasang pengaman pada sisi
tempat tidur.
R/ : Untuk menjamin keamanan K dari resiko jatuh.
E. EVALUASI
1. Masalah kerusakan aktifitas fisik dan terapi fisik dapat teratasi
sepenuhnya. Ditandai dengan :
– K memahami regimen latihan
dan terapi fisik.
– K memperlihatkan mobilitas
fisik optimum sesuai dengan status fisiologisnya.
– Tidak terjadi kontraktur.
– Tremor, rigiditas dan
bradikinesia sepenuhnya.
2. Masalah kekurangan nutrisi teratasi
sepenuhnya, ditandai dengan:
– Berat badan K sesuai
dengan tinggi badan dan usia.
– Tidak ada kesulitan dalam
mengunyah dan menelan.
– Nafsu makan meningkat.
3. Masalah konstipasi teratasi
sepenuhnya, ditandai dengan:
– Pola fungsi usus normal
(bising usus 6-12 x / menit)
– Pola defekasi setiap 1-3
hari.
– Distensi abdomen
tidak ada.
4. Masalah kerusakan komunikasi verbal
dapat teratasi sepenuhnya, ditandai dengan:
– K mampu mengekspresikan
perasaan secara verbal.
– K mampu mengucapkan kata
dan berkomunikasi dengan tenang.
– K mampu meningkatkan kemampuan
bicara secara progresif.
5. Resiko tinggi cedera tidak terjadi,
ditandai dengan :
– K tidak mangalami cedera.
– K mampu mengidentifikasi
factor-faktor yang meningkatkan resiko cedera.
– K mampu melakukan tindakan
pengamanan untuk mencegah cedera.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Stroke
adalah kehilangan fungsi otak yang disebabkan oleh berhentinya suplay darah ke
otak. Disamping itu selain stroke ada juga penyakit lainnya seperti Parkinson.
Adapun pengertian dari Parkinson adalah merupakan gangguan neurology progresif
yang mngenai pusat otak yang bertanggunga jawab untuk mengontrol dan mengatur
gerakan.
B. SARAN
– Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada klien dengan gangguan neurologist
– Mahasiswa mampu memahami konsep dasar penyakit pada klien gangguan
neurologis.
– Mahasiswa mampu menegakkan asuhan keperawtan pada klien dengan gangguan
neurologis
DAFTAR
PUSTAKA
Annete
g Lueckenotte, MS, RN, CS.1996. Gerontologi Nursing. New York. Mosby.
Brunner
& Suddart. 2002. Keperawatan Medical Bedah Volume 3. Jakarata. EGC
Carpenito.
Lynda Jual.2000. Buku saku Diagnosa Keperawatan. Yakarta. EGC.
Doengoes,
Marylin.2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Yakarta. EGC.
Hudak,
Cardyn. M. 1996. Keperawatan Iritis Pendekatan Holistik.Yakarta.EGC.
Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi Ketiga. 2001. Jakarta : balai Penerbid. FKUI.
Kumar.
Robbins. 1997. Buku Ajar Patologi, II. Jakarta. EGC.
Leuckenotte.
1998. Pengkajian Gerontologi. Edisi 2. Jakarta. EGC
Nettina,
sandra. M. 2002. Pedoman Praktik Keperawatan. Jakarta; EGC.
Potter,
Pery. 2005. Buku Ajar fundamental Keperawatan. Volume I. Edisi 4. Jakarta: EGC.
R
Boedhi-Darmojo.H Hadi Martono 2006. Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut) Edisi
ke 3 Jakarta: FKUI
Steven,
PJM. 2000. Ilmu Keperawatan Jilid 1 edisi 2. Jakarta: EGC
Wahyudi
Nugroho,SKM.2000. Keperawatan gerontik,edisi 2. jakarta : EGC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar