BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Zaman sekarang ini, perkembangan teknologi dan industri telah banyak membawa perubahan pada perilaku dan gaya hidup masyarakat, serta situasi lingkungan misalnya perubahan pola konsumsi makanan, berkurangnya aktivitas fisik atau kurang olahraga, kebiasaan merokok dan meningkatnya polusi lingkungan, tanpa disadari perubahan tersebut memberi pengaruh terhadap terjadinya transisi epidemiologi dengan semakin meningkatnya kasus-kasus penyakit tidak menular. Gagal jantung adalah suatu sindrom klinis kompleks, yang didasari oleh ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah keseluruhan jaringan tubuh adekuat, akibat adanya gangguan struktural dan fungsional dari jantung. Pasien dengan gagal jantung biasanya terjadi tanda dan gejala sesak nafas yang spesifik pada saat istirahat atau saat beraktivitas dan atau rasa lemah, tidak bertenaga, retensi air seperti kongestif paru, edema tungkai, terjadi abnormalitas dari struktur dan fungsi jantung (Setiani, 2014).
Gagal jantung merupakan satu-satunya jenis penyakit jantung yang morbiditas (angka kesakitan) dan angka mortalitas (angka kematian) nya justru tinggi, walaupun telah banyak yang dilakukan penelitian untuk mengetahui patofisiologi (ilmu yang mempelajari tentang fungsi organ dan keadaan yang menyebabkan sakit) serta pengobatannya. Faktanya saat ini 50% penderita gagal jantung akan meninggal dalam waktu 5 tahun, sejak diagnosanya ditegakkan. Begitu juga dengan resiko untuk menderita gagal jantung, belum bergerak dari 10 % untuk kelompok diatas 70 tahun, dan 5 % untuk kelompok usia 60-69 tahun, dan 2 % untuk kelompok usia 40-49 tahun (Nurhayati & Nuraini, 2009).
Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2006 di negara-negara maju dan berkembang, kematian yang disebabkan oleh penyakit jantung menduduki ranking pertama setiap dan sepanjang tahun. Jadi, penyakit jantung merupakan pembunuh yang utama di negara tersebut setiap dan sepanjang tahun. Diperkirakan peningkatan jumlah kematian yang disebabkan oleh penyakit jantung antara lain perubahan pola hidup, khusus bagi seseorang yang hidup dikejar waktu, selalu gelisah kurang bergerak, atau menjadi perokok, stress, usia yang sudah lanjut dan perubahan konsumsi pangan dapat mendorong peningkatan menjadi penderita penyakit jantung (Nurhayati & Nuraini, 2009).
Di Eropa, kejadian gagal jantung berkisar 0,4%-2% dan meningkat pada usia yang lebih lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun. Ramalan dari gagal jantung akan jelek bila dasar atau penyebabnya tidak dapat diperbaiki. Seperdua dari pasien gagal jantung akan meninggal dalam 4 tahun sejak diagnosis ditegakkan, dan pada keadaan gagal jantung berat lebih dari 50% akan meninggal dalam tahun pertama. Penyakit jantung koroner merupakan etiologi gagal jantung pada 60-70% pasien, terutama pada pasien usia lanjut. Sedangkan pada usia muda, gagal jantung diakibatkan oleh kardiomiopati dilatasi, aritmia, penyakit jantung kongenital atau valvular dan miokarditis (Setiani, 2014).
Menurut kementerian kesehatan RI prevalensi penyakit gagal jantung di Indonesia tahun 2013 sebesar 0,13% atau diperkirakan sekitar 229.696 orang sedangkan diagnosa dokter 0,3& atau diperkirakan sekitar 530.068 orang (Dinkes, 2013). Prevalensi penyakit gagal jantung meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada umur 65 – 74 tahun (0,5%) untuk yang terdiagnosis dokter, menurun sedikit pada umur ≥75 tahun (0,4%), tetapi untuk yang terdiagnosis dokter atau gejala tertinggi pada umur ≥75 tahun (1,1%). Untuk yang didiagnosis dokter prevalensi lebih tinggi pada perempuan (0,2%) dibanding laki-laki (0,1%), berdasar didiagnosis dokter atau gejala prevalensi sama banyaknya antara laki-laki dan perempuan
(0,3%). Prevalensi yang didiagnosis dokter serta yang didiagnosis dokter atau gejala lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah. Prevalensi yang didiagnosis dokter lebih tinggi di perkotaan dan dengan kuantil indeks kepemilikan tinggi. Untuk yang terdiagnosis dokter atau gejala sama banyak antara perkotaan dan perdesaan (Riskesdes, 2013). Prevalensi kasus dekompensasi kordis tahun 2009 sebesar 0,12% artinya dari 10.000 orang terdapat 14 orang yang menderita penyakit ini, mengalami penurunan bila dibandingkan prevalensi tahun 2008 sebesar 0,18%, ditahun 2010 mengalami penurunan kembali menjadi 0,11%, tahun 2011 mengalami peningkatan menjadi 0,12% dan angka tersebut sama ditahun 2012. Prevalensi tertinggi adalah di kota Magelang sebesar 1,85% (Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2012).
Data prevalensi penyakit gagal jantung atau CHF dari Kota Pekalongan didapatkan data dari tahun 2013 sebanyak 218 penderita tahun 2014 sebanyak 482 penderita dan tahun 2015 prevalensi mengalami peningkatan menjadi 588 penderita. Hasil tersebut didapatkan dari laporan puskesmas-puskesmas dan rumah sakit di Kota Pekalongan (Dinkes Kota Pekalongan, 2016). Data prevalensi penyakit gagal jantung atau CHF dari RSUD Bendan didapatkan data dari Januari sampai Desember pada tahun 2013 sebanyak 58 penderita, Januari sampai Desember pada tahun 2014 sebanyak 116 penderita dan tahun 2015 sebanyak 75 penderita. Hal ini menunjukkan prevalensi mengalami naik turun dalam tiga tahun terakhir ini, tetapi angka kejadiannya masih tergolong tinggi (RSUD Bendan, 2016).
Pada tahap simtomatik dimana sindrom gagal jantung sudah terlihat jelas seperti cepat capek, sesak nafas (dyspnea in effort, orthopnea), kardiomegali, peningkatan tekanan vena jugularis, hepatomegali dan edema sudah jelas, maka diagnosis gagal jantung mudah dibuat. Tetapi bila sindrom tersebut belum terlihat jelas seperti pada tahap disfungsi ventrikel kiri/ LV disfunction (tahap asimtomatik), maka keluhan fatik dan keluhan diatas yang hilang timbul tidak khas, sehingga harus ditopang oleh pemeriksaan foto
rontgen, ekokardiografi dan pemeriksaan Brain Natriuretic Peptide. Diuretikoral maupun parenteral tetap merupakan ujung tombak pengobatan gagal jantung sampai edema atau asites hilang (tercapai euvolemik). ACE-Inhibitor atau Angiotensin Receptor Blocker (ARB) dosis kecil dapat dimulai setelah euvolemik sampai dosis optimal. Penyekat beta dosis kecil sampai optimal dapat dimulai setelah diueretik dan ACE-Inhibitor tersebut diberikan (Setiani, 2014).
Penulis mengangkat kasus gagal jantung ini dikarenakan melihat dari prevalensi penderita gagal jantung yang cukup tinggi. Hal ini di buktikan dari hasil data prevalensi penyakit gagal jantung atau CHF dari Kota Pekalongan yang meningkat dari 218 penderita pada tahun 2013, 482 penderita pada tahun 2014, 588 penderita pada tahun 2015 dan data prevalensi penyakit gagal jantung atau CHF dari RSUD Bendan pada tahun 2013 sebanyak 58 penderita mengalami kenaikan pada tahun 2014 sebanyak 116 penderita, sedangkan tahun 2015 sebanyak 75 penderita. Selain karena prevalensi gagal jantung yang cukup tinggi peran perawat untuk mananggulangi atau mencegah penyakit gagal jantung juga diperlukan dengan cara memberikan dukungan dan asuhan keperawatan kepada pasien gagal jantung. Walaupun gagal jantung merupakan kelanjutan dari penyakit lain namun penyakit ini sering memerlukan perawatan ulang di rumah sakit bahkan sering sekali penyakit ini menjadi penyebab kematian seseorang. Asuhan keperawatan dan tindakan keperawatan yang dilakukan harus tepat, dimulai hal yang sederhana seperti memberikan pendidikan kesehatan kepada pasien gagal jantung tentang pola hidup sehat.
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Zaman sekarang ini, perkembangan teknologi dan industri telah banyak membawa perubahan pada perilaku dan gaya hidup masyarakat, serta situasi lingkungan misalnya perubahan pola konsumsi makanan, berkurangnya aktivitas fisik atau kurang olahraga, kebiasaan merokok dan meningkatnya polusi lingkungan, tanpa disadari perubahan tersebut memberi pengaruh terhadap terjadinya transisi epidemiologi dengan semakin meningkatnya kasus-kasus penyakit tidak menular. Gagal jantung adalah suatu sindrom klinis kompleks, yang didasari oleh ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah keseluruhan jaringan tubuh adekuat, akibat adanya gangguan struktural dan fungsional dari jantung. Pasien dengan gagal jantung biasanya terjadi tanda dan gejala sesak nafas yang spesifik pada saat istirahat atau saat beraktivitas dan atau rasa lemah, tidak bertenaga, retensi air seperti kongestif paru, edema tungkai, terjadi abnormalitas dari struktur dan fungsi jantung (Setiani, 2014).
Gagal jantung merupakan satu-satunya jenis penyakit jantung yang morbiditas (angka kesakitan) dan angka mortalitas (angka kematian) nya justru tinggi, walaupun telah banyak yang dilakukan penelitian untuk mengetahui patofisiologi (ilmu yang mempelajari tentang fungsi organ dan keadaan yang menyebabkan sakit) serta pengobatannya. Faktanya saat ini 50% penderita gagal jantung akan meninggal dalam waktu 5 tahun, sejak diagnosanya ditegakkan. Begitu juga dengan resiko untuk menderita gagal jantung, belum bergerak dari 10 % untuk kelompok diatas 70 tahun, dan 5 % untuk kelompok usia 60-69 tahun, dan 2 % untuk kelompok usia 40-49 tahun (Nurhayati & Nuraini, 2009).
Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2006 di negara-negara maju dan berkembang, kematian yang disebabkan oleh penyakit jantung menduduki ranking pertama setiap dan sepanjang tahun. Jadi, penyakit jantung merupakan pembunuh yang utama di negara tersebut setiap dan sepanjang tahun. Diperkirakan peningkatan jumlah kematian yang disebabkan oleh penyakit jantung antara lain perubahan pola hidup, khusus bagi seseorang yang hidup dikejar waktu, selalu gelisah kurang bergerak, atau menjadi perokok, stress, usia yang sudah lanjut dan perubahan konsumsi pangan dapat mendorong peningkatan menjadi penderita penyakit jantung (Nurhayati & Nuraini, 2009).
Di Eropa, kejadian gagal jantung berkisar 0,4%-2% dan meningkat pada usia yang lebih lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun. Ramalan dari gagal jantung akan jelek bila dasar atau penyebabnya tidak dapat diperbaiki. Seperdua dari pasien gagal jantung akan meninggal dalam 4 tahun sejak diagnosis ditegakkan, dan pada keadaan gagal jantung berat lebih dari 50% akan meninggal dalam tahun pertama. Penyakit jantung koroner merupakan etiologi gagal jantung pada 60-70% pasien, terutama pada pasien usia lanjut. Sedangkan pada usia muda, gagal jantung diakibatkan oleh kardiomiopati dilatasi, aritmia, penyakit jantung kongenital atau valvular dan miokarditis (Setiani, 2014).
Menurut kementerian kesehatan RI prevalensi penyakit gagal jantung di Indonesia tahun 2013 sebesar 0,13% atau diperkirakan sekitar 229.696 orang sedangkan diagnosa dokter 0,3& atau diperkirakan sekitar 530.068 orang (Dinkes, 2013). Prevalensi penyakit gagal jantung meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada umur 65 – 74 tahun (0,5%) untuk yang terdiagnosis dokter, menurun sedikit pada umur ≥75 tahun (0,4%), tetapi untuk yang terdiagnosis dokter atau gejala tertinggi pada umur ≥75 tahun (1,1%). Untuk yang didiagnosis dokter prevalensi lebih tinggi pada perempuan (0,2%) dibanding laki-laki (0,1%), berdasar didiagnosis dokter atau gejala prevalensi sama banyaknya antara laki-laki dan perempuan
(0,3%). Prevalensi yang didiagnosis dokter serta yang didiagnosis dokter atau gejala lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah. Prevalensi yang didiagnosis dokter lebih tinggi di perkotaan dan dengan kuantil indeks kepemilikan tinggi. Untuk yang terdiagnosis dokter atau gejala sama banyak antara perkotaan dan perdesaan (Riskesdes, 2013). Prevalensi kasus dekompensasi kordis tahun 2009 sebesar 0,12% artinya dari 10.000 orang terdapat 14 orang yang menderita penyakit ini, mengalami penurunan bila dibandingkan prevalensi tahun 2008 sebesar 0,18%, ditahun 2010 mengalami penurunan kembali menjadi 0,11%, tahun 2011 mengalami peningkatan menjadi 0,12% dan angka tersebut sama ditahun 2012. Prevalensi tertinggi adalah di kota Magelang sebesar 1,85% (Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2012).
Data prevalensi penyakit gagal jantung atau CHF dari Kota Pekalongan didapatkan data dari tahun 2013 sebanyak 218 penderita tahun 2014 sebanyak 482 penderita dan tahun 2015 prevalensi mengalami peningkatan menjadi 588 penderita. Hasil tersebut didapatkan dari laporan puskesmas-puskesmas dan rumah sakit di Kota Pekalongan (Dinkes Kota Pekalongan, 2016). Data prevalensi penyakit gagal jantung atau CHF dari RSUD Bendan didapatkan data dari Januari sampai Desember pada tahun 2013 sebanyak 58 penderita, Januari sampai Desember pada tahun 2014 sebanyak 116 penderita dan tahun 2015 sebanyak 75 penderita. Hal ini menunjukkan prevalensi mengalami naik turun dalam tiga tahun terakhir ini, tetapi angka kejadiannya masih tergolong tinggi (RSUD Bendan, 2016).
Pada tahap simtomatik dimana sindrom gagal jantung sudah terlihat jelas seperti cepat capek, sesak nafas (dyspnea in effort, orthopnea), kardiomegali, peningkatan tekanan vena jugularis, hepatomegali dan edema sudah jelas, maka diagnosis gagal jantung mudah dibuat. Tetapi bila sindrom tersebut belum terlihat jelas seperti pada tahap disfungsi ventrikel kiri/ LV disfunction (tahap asimtomatik), maka keluhan fatik dan keluhan diatas yang hilang timbul tidak khas, sehingga harus ditopang oleh pemeriksaan foto
rontgen, ekokardiografi dan pemeriksaan Brain Natriuretic Peptide. Diuretikoral maupun parenteral tetap merupakan ujung tombak pengobatan gagal jantung sampai edema atau asites hilang (tercapai euvolemik). ACE-Inhibitor atau Angiotensin Receptor Blocker (ARB) dosis kecil dapat dimulai setelah euvolemik sampai dosis optimal. Penyekat beta dosis kecil sampai optimal dapat dimulai setelah diueretik dan ACE-Inhibitor tersebut diberikan (Setiani, 2014).
Penulis mengangkat kasus gagal jantung ini dikarenakan melihat dari prevalensi penderita gagal jantung yang cukup tinggi. Hal ini di buktikan dari hasil data prevalensi penyakit gagal jantung atau CHF dari Kota Pekalongan yang meningkat dari 218 penderita pada tahun 2013, 482 penderita pada tahun 2014, 588 penderita pada tahun 2015 dan data prevalensi penyakit gagal jantung atau CHF dari RSUD Bendan pada tahun 2013 sebanyak 58 penderita mengalami kenaikan pada tahun 2014 sebanyak 116 penderita, sedangkan tahun 2015 sebanyak 75 penderita. Selain karena prevalensi gagal jantung yang cukup tinggi peran perawat untuk mananggulangi atau mencegah penyakit gagal jantung juga diperlukan dengan cara memberikan dukungan dan asuhan keperawatan kepada pasien gagal jantung. Walaupun gagal jantung merupakan kelanjutan dari penyakit lain namun penyakit ini sering memerlukan perawatan ulang di rumah sakit bahkan sering sekali penyakit ini menjadi penyebab kematian seseorang. Asuhan keperawatan dan tindakan keperawatan yang dilakukan harus tepat, dimulai hal yang sederhana seperti memberikan pendidikan kesehatan kepada pasien gagal jantung tentang pola hidup sehat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar